Saturday, June 2, 2007

My Adventure

Kamis, 17 Mei 2007

Aku liat jam tanganku, jam 5 pagi. Dan aku baru menginjakkan kakiku di rumah. Yup...aku dah nyampe Solo, setelah tadi melalui perjalanan yg melelahkan + sial. Berangkat dari kos di Surabaya jam setengah 8 dgn buru-buru. Nunggu angkot mpe jam 8 gak nongol-nongol jg. Kampret....klo gak dapet angkot masak mo pulang besok! Temen di rumah sudah bolak-balik nanya..kapan pulangnya? Maklum kita udah punya rencana mo naek gunung. Jam 8 lebih angkot yg tak tunggu-tunggu keliatan jg. Langsung meluncur ke terminal bratang. Bis kota langsung ku naiki begitu nyampe. Sial lagi....nunggu setengah jam lebih bus blm jg tancap gas. Apes dateng lagi...bus patas yg pengen aku naiki gak ada. Nunggu sejam lebih gak keliatan batang idungnya. Suasana terminal bungurasih cukup ramai. Maklum hari ini malem liburan. Bus ekonomi pun jg selalu penuh sesak. Dengan terpaksa ku naik bus ekonomi. Apes bin sial...di dalem bus yg benernya ku pengen tidur ngumpulin tenaga buat naek gunung besok gak bisa. Bus penuh sesak...aku terhimpit. Mata gak bisa merem-merem jg. Padahal aku capek. Rebo sore td aku hbs maen futsal, final CG yg akhirnya team kami juara. Hawa dingin mulai menggelanyuti. Aku dapet duduk di bangku belakang paling pojok kiri deket pintu. Mana tadi lupa gak bawa jaket. Sial...sial...sial!!!! Alhasil hiburan buat menemaniku satu-satunya cuma mp3. Bus yg ku tumpangi bener-bener parah. Kita para penumpang seperti diombang-ambingkan ke kanan-kiri, di kocok perut kita. Rencana semula nyampe Solo jam 2an pun gagal. Setelah kurang lebih 6 jam berjalan di dalam bus sialan akhirnya sampai juga di tirtonadi. Ibu sempet kuatir coz aku bilang jam 2an nyampe rmh tp jam 4an belum dateng-dateng jg. Nyampe rmh ku lgsg subuhan trz ngebo, nyiapin tnaga buat ntar siang. Jam 12 datang temenku Sinyo yg pulang jauh-jauh dari Batam dan Wiwit yang jg biz pulang dari Jkt. Kami b3 ngobrol ngalor-ngidul gak jelas serta diskusi gmn enaknya ntar, jadi naek gunung pa gak. Aku n Sinyo pengen naek gunung tapi wiwit malah pengen touring motoran. Bingung jg coz ngeliat dari cuaca kayaknya udah nggak bersahabat, mendung! Akhirnya dicapai kesepakatan gmn klo kita naek tapi sambil touring...oke deal! Tambahan personel dari temen kami, Aris, seorang polisi bintara. Yup, ber4 kita berangkat...


Jam 4 sorean kita go setelah sebelumnya mampir ke tempat temen-temen kami yg jg para petualang di Cartenz. Kami beli sleeping bag coz persiapan kami yg gak ada hingga lupa alat-alat yg dibutuhkan di atas ntar. Jam 7 pas kita nyampe di Selo, tempat persinggahan terakhir sebelum benar-benar naek. Gleg....di sini sepi bgt. Sunyi....dingin, gak spt biasanya. Lagi lagi kita bingung mau naik mana...Merapi....ato Merbabu?!? Rencana awal sih Merapi, tp melihat berbagai kondisi dimana statusnya masih siaga, trek jalur pendakian mungkin jg sedikit berbeda akibat letusan kemaren serta tidak adanya kelp pendaki lain maka Merbabu alternatif cari aman, qeqe... Jam setengah 9 nyampe di base camp Pak Yoso. Hari libur yg biasanya rame pendaki untuk sekarang benar-benar sepi. Hanya kita berempat!


SUATU PERTANDA KAH...???

Di rumah Pak Yoso kita ngobrol-ngobrol sebelum melakukan pendakian. Aku yg sudah ngantuk mencoba merilekskan sejenak badanku. Sepertinya tubuhku ini enggan untuk melakukan pendakian. Entah kenapa. Padahal dari Sby aku udah semangat’45 for adventure. Dari tempat aku tiduran ku dengar Aris dan Wiwit ngobrol soal peluang membuka usaha di Solo. Kita emang udah berencana 2-3 tahun ke depan untuk mencoba peruntungan berinvestasi ataupun berwiraswasta bersama. Oia...sedikit aku ceritain temen-temenku ini. Sebenarnya temen asliku cuma Sinyo aja. Dia tetanggaku, teman maenku. Dia sekarang kerja di Batam di bidang Oil and Gas Company, tapi di kontraktornya. Bagian yg membuat alatnya. Misalnya aja steam injection buat pengeboran lepas pantai. Sinyo sejalan dengan bidangku, teknik kimia. Aris is Sinyo’s friend at high school. Dia sekarang jadi polisi bintara. Kita berdua sudah cukup akrab karena sering maen bareng. Sedangkan Wiwit adl temennya Adi, temen rumahku jg. Kebetulan dia gak bisa ikut naek. Padahal aku ma Adi yg sering bgt duel mendaki bersama. Aku ma Wiwit jg sudah lama akrab. Kita dulu pernah seminggu camping di desa pedalaman daerah Pacitan. Dia sekarang di Jkt kerja di Ajinomoto, sejalan jg dgn bidangku. Kita berempat sama-sama seangkatan, 2001. Hanya aku aja jg masih kuliah, belum lulus, hikzzzzzz.... :’(

Arloji udah menunjukkan jam 10. Di luar masih terliat langit gelap, kilat bermunculan dan hanya satu-dua bintang yg terlihat. Bulan tidak terlihat sama sekali. Dengan perasaan setengah hati kita siap-siap packing mendaki. Pukul setengah 11 kita siap. Tepat di jalan terakhir, perkampungan terakhir sebelum memasuki hutan-gunung yg lebat tak berpenghuni kita berdoa bersama. Aku yg memimpin. Semoga Allah memberi kelancaran kita dalam menikmati, memahami, dan mencoba mengerti terhadap segala apa yang Dia ciptakan untuk kita. Diberi keselamatan dari awal, sampai puncak hingga kita kembali ke Solo nanti. Bukannya mo sombong, dari kita berempat hanya aku yg pernah sampai puncak Merbabu. Di sini pula pertama kalinya aku naek gunung pas SMU, dengan Sinyo pula. Waktu itu kita hanya nyampe sabana, kurang 2 bukit lagi puncak. Episode selanjutnya kalo ke merbabu kita hanya camping, haking, atau nyampe pasar setan aj. Puncak Merbabu kurasakan waktu kegiatan PenMas Mapala Ajusta Brata FT-UNS.

Jalan setapak satu-dua langkah mulai kita lalui. Senter jg sudah kita nyalakan. Pendakian kali ini benar benar gelap. Kita tidak dibantu oleh kilaunya bintang dan gemerlapnya bulan. Jalan jg basah oleh hujan yg mungkin turun sebelumnya. Akibatnya sudah pasti...licin. Kalo kita gak hati-hati bisa-bisa sering terperosok. Kadang kita juga menemui jalan yang gembur, lunak dengan jurang di sebelah kiri kita, tanah longsor dan pohon tumbang menghalangi jalan. Sekitar setengah jam-an berjalan dengan formasi Sinyo-Aku-Wiwit-Aris, kita dihadapkan pada jalan bercabang. Sinyo langsung mengambil arah kiri. Kita dibelakang ngikut aja. Pada mulainya jalan biasa aj, tapi kira-kira setengah jam kemudian jalan setapak yg kami lalui terasa sulit. Kami kira kalaupun itu jalan cross, yaitu jalan tanjakan untuk mempersingkat waktu, yg akhirnya bertemu lagi ke jalan utama. Tapi ini jalan semakin lama semakin susah. Kayaknya udah berbulan-bulan gak dilewati. Jalan banyak ditumbuhi ilalang, tanaman bercabang. Ku coba ambil golok di tas carier-ku. Sambil merayap kita tebas ranting dan daun yang menghalangi jalan kita. Kadang aku juga berpegangan pada ranting yang menjorok untuk membantu menarikku ke atas. Maklum trek jalan sangat curam dengan kemiringan ke atas sampai 60 derajat. Tas carier 60 L yang lumayan berat jg sedikit membebani langkahku. Jadi tak jarang baru 5-10 meter kita jalan terus berhenti untuk bernafas dan mengumpulkan tenaga sejenak. Kira-kira setelah melalui jalan tanjakan selama sejam, kita sampai pada jalan landai lagi pada suatu lembah. Di depan kita terbentang sebuah bukit, dibelakang terlihat gunung Merapi yg elok rupawan memperlihatkan keperkasaannya. Keadaan inilah yang mengingatkanku pada daerah sekitar batu tulis. Aku beranggapan bahwa di balik bukit itu adalah sabana. Tapi masak iya?! Kita belum melewati satupun pos, baik pos 1, 2, 3. Perjalanan kita juga mungkin baru 1,5 jam. Di depan, kita juga sudah buta soal jalan. Gelap. Kita gak bawa peta ataupun kompas. Jalan sudah hilang. Kita hanya mengira-ngira. Sedikit kilatan cahaya dari petir belum mampu menerangi area tempat kita bernaung. Mau tak mau kita coba rute satu persatu. Sinyo masih di depan mencoba membuat jalan dengan menebas tumbuhan yg menghalangi. Entah kenapa dia akhirnya menyuruh aku memimpin didepan. Tiba di depan padang ilalang dengan tinggi hampir setinggi kita, aku dikejutkan suara sreg...sreg...sreg di semak-semak di depanku, sementara teman-teman lainnya gak mendengar. Suara itu datang di depanku lalu pergi menjauh. Nyaliku ciut juga mendengar itu. Aku masih bertanya-tanya.....suara gerangan apakah itu?!?! Aku blm brani blg ma tmn-tmn. Tapi aku kuatin hatiku dengan mencoba menganggap bahwa itu mungkin hanya suara binatang yg kebetulan lewat. Ayo terusin perjalanan... Di depan rute menanjak lagi, tapi kita masih blm jg menemukan jalur utama. Bolak-balik kita mengintari area itu. Berpencar. Ambil jalan ini. Kembali. Ambil jalur itu. Buntu lagi. Balik lagi. Kita pun berkesimpulan bahwa kita tersesat. Kesasar. Keblasuk. Opsi penyelesaian....tetep mencoba trek menanjak di depan kita, istirahat ngecamp, atau balik lagi ke jalur ngecross yg menyesatkan kita td. Kita petualang choy, pendaki, jangan gitu aja menyerah. Semangat kita masih tinggi, terutama Wiwit yg sudah ngebet pengen merasakan puncak. Team kita kali ini dilanda selisih pendapat. Akal sehat sepertinya sudah tidak jalan. Aku masih berkeyakinan bahwa dibalik bukit itu adalah sabana. Wiwit pokoknya pengen puncak. Sinyo jg pengen terus jalan. Sedangkan Aris pengen balik mencari jalur tadi dan menganggap pendakian kita kali ini dianggap gagal. Bingung jg mo kemana kita. Kita pun akhirnya mencoba mengambil jalur sebelah kiri dekat jurang. Mencoba mencari batu tulis dan makam in memoriam yg menjadi patokanku sebelum mencapai puncak. Barang yg dicari-cari gak keliatan jg malah semakin dekat dengan jurang. Kita pun kembali lagi dan mencoba mencari lagi jalur td. Di sebuah pohon kita menemukan tulisan pos 3. Kita pun bertanya-tanya. Mosok sih iki pos telu?! Ketoe pos telu ora ngene deh?! Sinyo dan aku yg notabene punya jam tinggi di Merbabu sudah kehilangan pikiran. Udah 2 tahunan mungkin aku gak kesini. Dan terakhir kali aku naek gunung adalah acara tujuhbelasan taon kemaren. Aku jg sudah kelihatan capek. Performaku sekarang sudah tidak seperti dulu lagi. Barang-barang berat semua masuk ke tas ranselku. Aku dan Sinyo yg bawa tas carier, sementara Wiwit cuma bawa matras dan tas kecil, Aris bawa tas berisi keperluan logistik selama di jalan. Di bawah pohon bertulis pos 3 kita istirahat sejenak. Mencoba berpikir mencari solusi. Berulang kali Aris bilang...terserah mau diterusin, balik ke pertigaan td, yang penting selalu jaga kekompakan...jaga kekompakan. Emg bener...pd situasi yg belum kita pikirkan sebelumnya ini, rasa kekompakan sangat kita butuhkan. Setelah istirahat dirasa cukup, kita mau mencoba kembali ke area td. Sebelumnya kita melihat sebuah gubuk tua terbuka dengan di sampingnya sebuah pohon besar rimbun. Kita coba aja yg arah kiri gubuk tadi. Hanya arah itu yg belum kita lalui. Begitu selorohku. Temen-temen pada setuju. Ngeri jg melintasi gubuk itu. Kita jalan terus, tapi yg ada malah menuju jurang lagi. Ada tanda-tanda patok dari bambu yg di atasnya di cat putih. Semacam tanda. Aku mengira itu tanda buat benih/tunas pohon yg ditanam guna penghijauan hutan kembali. Maklum hutan Merbabu sini pernah mengalami kebakaran kira-kira setengah taon lalu. Dah...kayaknya emg udah gak ada jalan laen, kita cari jalur awal td yg membuat kita tersesat. Rasa merinding kembali menggelanyutiku ketika melewati gubuk tua dengan pohon besar td. Kali ini aku jalan paling belakang dan sedikit tertinggal jauh dgn teman-teman. Tapi aku yakinkan dgn melihat dan menyoroti gubuk+pohon itu bahwa tidak ada apa-apa. Jalanku dah sempoyongan, celana dah basah dari lutut ke bawah. Pelindung kakiku td dipake Wiwit. Sekarang kira balik menuruni trek menanjak td. Melintasi jalan curam turun akan lebih sulit dilakukan malam hari. Terpeleset dikit aja akan membuat kita nyungsep ke bawah. Beruntung kalo masih nyangkut, lha kalo nglundung neng jurang?! Tamatlah riwayat kita! Senterku udah terang setelah tadi sebelumnya tak ganti baterai baru. Aku pake senter mungil. Cuma berisi 1 baterai kecil AA. Senterku yg besar dipake Aris. Melewati jalan yg basah berkali-kali kita terpeleset. Akhirnya kita nyampe di pertigaan yg bikin kita tersesat. Gak tau udah jam berapa, tapi semangat kita jadi menggebu lagi. Kita teruskan pendakian kita. Betul, ini memang jalur yg benar. Jalan berupa tanah liat padat dengan sedikit membentuk kolong. Hanya cukup dipake jalan 1 orang saja. Tak berapa lama kemudian sampailah kita pada pos 1. Fuih, lega juga perasaan kita, rasa penasaran kita dari tadi yg bingung masalah jalur ketemu jg. Bodoh + pikunnya aku yg udah 5x lebih ke Merbabu tapi masih jg lupa jalur. Di pos 1 kita istirahat sejenak. Arloji kalo gak salah menunjukkan jam 2 lebih, berarti 2 jam lebih kita muter-muter kesasar td. Belum sempat melanjutkan perjalanan hujan turun. Aneh. Td tak lihat masih ada satu-dua bintang soale. Cuma ada kilat tp gak terdengar bunyi guntur. Kita sepakat menunggu. Kalo hujan reda kita teruskan pendakian, tapi kalo hujan deras kita balik ke base camp aja. Ternyata hujan semakin deras. Kita pun tertunduk lesu. Semangat + jiwa muda kita yg menggebu-gebu terpaksa kita pendam. Kita balik, tandanya kita menyerah. Pendakian Gagal! Dan yg lebih tragis baru nyampe pos 1. Pencapaian yg terburuk dalam sejarahku, hehehe. Hujan jadi makin deras, dengan jalan yg lebih cepat kita melangkah. Kira-kira 20 menit kemudian dari jauh sudah terlihat titik-titik gemerlap lampu dari rumah penduduk, tanda sudah semakin dekat dgn base camp. Sampai di perkampungan penduduk aku bersihkan kaki dan celanaku yg basah dan kotor oleh lumpur. Ajaib..nyampe di rumah Pak Yoso hujan langsung reda. Kita jadi membangunkan Pak Yoso. Semua apa yg kita alami kita ceritakan. Bukan hal yg mengherankan kalo kita tersesat. Jalan percabangan itu, kata Pak Yoso emang sering menyesatkan. Penduduk di sini bahkan Pak Yoso sendiri pernah tersesat alias salah jalan. Jadi tidak heran kalo pendaki amatiran spt kita bisa tersesat. Cerita Pak Yoso, dulu ditempat kita tersesat itu adalah bekas area latihan para tentara yg sekarang sudah tidak digunakan lagi. Di balik bukit yg aku perkirakan sabana itu salah. Jikalau kita tadi nekat menerobos membuat jalur sendiri maka tidak mustahil kita akan tersesat lebih dalam. Beruntung kita segera menyadari. Sinyo pun jg menimpali bahwa dia ketika berada di barisan depan mendengar teriakan orang memanggil. Misteri. Makanya dia sedikit getir lalu memintaku di depan. Aku pun ternyata jg mengalami hal yg sama, di depan terdengar bunyi srek...srek....srek. Padahal hanya kelompok kita yg mendaki.

Yup, dari semua kisah perjalanan itu dapat aku tarik kesimpulan sendiri bahwa kita emang mendapat suatu pertanda, peringatan, agar kita jangan naek. Iya! Jangan mendaki! Kenapa begitu...?! Pertama, kita sudah tersesat, disalah-arahkan, kita masih saja nekat. Yang kedua kita masih dihalangi oleh hujan dan untungnya kita jadi menyerah. Apakah itu pertanda dari Yang Diatas, Gusti Allah, agar kita jangan mendaki. Dulu pas SMU aku pernah mendaki duel ama temenku. Berdua. Waktu itu kita masih amatiran. Bekal yg kita bawa seadanya. Kita jg naek di Merbabu. Nekat. Nyampe di pos 3 turun hujan sangat deras sekali. Kita masih tetep nekat melanjutkan perjalanan. Jas hujan pun kita nggak bawa. Semua badan, pakaian serta apa-apa yg kita bawa basah kuyup. Semua pendaki terlihat turun mengingatkan kita. Dengan berat hati kita pun turun, kembali ke base camp. Baru nyampe pos 1 hujan reda. Kita lalu putuskan untuk naek lagi. Entah sampai dimana hujan kembali turun lagi. Fisik kita saat itu udah payah. Jalan yg kita lalui sudah berubah wujud menjadi suatu sungai dengan aliran air yg sangat deras. Kaki kita terasa kaku. Tak terasa kita sudah sampai di suatu dataran yg mungkin setelah pos 4. Hujan sudah menjadi ada sedikit butir-butir es. Pandangan ke depan sudah putih. Alhasil kita sudah nggak kuasa untuk melalukan perjalanan yg akhirnya kembali lagi ke base camp. Sampai di base camp badan kita menggigil kedinginan.

Yup, itulah sedikit pengalaman dari aku. Pengalaman yg mungkin memberi pelajaran bahwa kita harus menggunakan akal, pikiran, nalar kita dalam menghadapi sebuah problem yg datang secara tidak terduga. Jangan hanya mengandalkan fisik belaka.

Ketika kita menceritakan pengalaman kita sekembalinya di Solo kepada temen-temen di Cartenz, mereka jg tidak memungkiri bahwa dipertigaan itu emang sering membuat pendaki tersesat. Jadi bukan hanya kita saja yg pernah tersesat.

Malam itu sekembalinya di rumah Pak Yoso aku tidak bisa tidur. Mata seakan sulit terpejam. Badan terasa dingin. Selimut tebal seakan belum mampu menghangatkan dinginnya tubuhku. Akupun terjaga hingga pagi tiba.















>> Pemandangan dari Gunung Merbabu <<


Aku dan Aris...in the action!


Jum’at, 18 Mei 2007


Tak terasa pagi sudah tiba. Dinginnya sampai menusuk ke sendi tulangku. Pagi itu kita langsung segera berberes. Kita rencana akan melanjutkan perjalanan, touring ke Borobudur. Candi dengan sejuta pesona. Salah satu dari tujuh keajaiban dunia yg sayangnya sekarang sudah tidak masuk lagi. Tidak ingin melewatkan pemandangan di pagi hari sosok Merapi, kita menelusuri ladang perkebunan di belakang rumah Pak Yoso. Merapi sudah menampakkan keangkuhannya. Gumpalan asap putih sudah menutupi puncaknya. Gunung yg terkenal dengan Wedhus Gembelnya ini terlihat sangat elok menakjubkan. Kurang lebih 15 menit kita berfoto ria di ladang jagung milik Pak Yoso yg belakangnya langsung berbatasan dgn jurang. Jam setengah9an kita pamit mohon diri kepada keluarga Pak Yoso. Di sepanjang perjalanan menuju Borobudur kita menjumpai banyak sekali keindahan alam. Desa-desa di lembah Merapi tampak begitu kecil. Tampak di rambu-rambu jalan kalo tidak salah jarak tempuh Borobudur dari Selo 44 km lagi. Tadi sudah tanya ama orang mungkin membutuhkan waktu 3 jam perjalanan. Jalan berkelok-kelok naik-turun. Tak terasa kita sudah melewati Keteb Pass, tempat wisata persinggahan yg banyak dikunjungi wisatawan. Dari sini kita bisa melihat gunung Merapi secara utuh. Jam setengah11an kita nyampe di Borobudur, lebih cepat dari perkiraan kita. Tadi aku bonceng Wiwit. Kita melaju dengan kecepatan tinggi. Maklum, setelah dari keteb pass jalan lebih banyak turun. Kita hanya sekali berhenti di warung untuk makan sejenak. Perjalanan hanya kita tempuh selama 2 jam. Sampai di Borobudur pengunjung sangat ramai sekali, mungkin karena hari libur buat cuti bersama. Ku lihat biaya tiket masuk 9rb rupiah per-orang. Oiya..aku baru sekali ini ke Borobudur, hehe. Ndeso bwanged ya?! Aku dan Sinyo baru pertama kali ini melihat Borobudur secara langsung. Teriknya matahari tidak mengurangi minat orang untuk berlibur ke sana. Ada banyak rombongan keluarga, bule-bule, anak-anak kecil, ibu-ibu, pokoe semua orang tumpah ruah di sini. Penampilanku saat itu sangat kucel sekali. Baju+clana yg ku kenakan masih sama saat aku naek kemarin. Kotor banget! Dari pintu masuk menuju candi berjarak 300 meteran. Dengan canda suka gembira sambil memandangi cewek-cewek cantik yg lewat kita berjalan. 2 Kamera digital dengan total memori 1,5 Giga telah kita persiapkan dari kemarin. Sebelumnya ada pemeriksaan tadi pas masuk, kamera dilarang dibawa masuk. kamera tak bawa, sudah aku bungkus dengan slayer. Petugas sebenarnya tau, tapi syukur mereka tidak mengecek lebih dalam. Dari dekat aku melihat dengan jelas betapa tak terlukis keindahan candi Borobudur hanya dengan kata-kata. Tidak sampai di puncak Merbabu, puncak Borobudur pun jadi. Begitu seloroh temen-temen. Setelah kurang lebih 1jam kita berputar-putar, mengelilingi, mengagumi, merasakan dan memaknai betapa agungnya mahakarya buatan manusia jaman dulu ini kita kembali. Kampret...jam menunjukkan pukul setengah12. Hari jum’at. Jum’atan. Ku tengok kesana-kemari di komplek candi tidak ada masjid. Adanya di luar tadi, itu aja jg mushola. Terdengar sih berkumandang suara adzan. Aku ajak temen-temen gak ada yg mau sholat. Alasannya badan kita kotor, udah kena najis selama di gunung. Ya udah...aku gak sholat Jum’at. Yap, tidak sholat jum’at. Sholat wajib. Fardu ain bagi kita kaum laki-laki. Tapi semoga Allah mengampuni kita, memaafkan kita. Kita anggap kita lagi dalam perjalanan alias musafir. Yee..udah dosa kok masih cari-cari alesan, hehe... tapi sekembalinya dirumah langsung aku Jama’-Qosor lho. Semoga Gusti Allah mengampuni dosa-dosaku.












>> mencoba mencari peruntungan dari mitos <<


3 HARI YANG MELELAHKAN TAPI MEMBERI ARTI

Yup, itulah perjalanan kehidupanku selama 3 hari. Melelahkan..tapi mampu memberi kesan yg mendalam lengkap dengan akibat-akibat yg ditimbulkannya (akibat apa?!?!? JL) Nanti kapan-kapan kita sambung lagi...

padahal kian. danku. sepertinya ebelum melakukan pendakian























>> lelah...

















>> sebuah kisah klasik...

......sayang seribu sayang......foto 1 Giga kita kena firus....hanya ini yg terselamatkan.....


Met ketemu lagi di petualangan kita selanjutnya choy. Thank's 4 all....